Kita sebagai manusia, bisa berencana tapi tidak bisa melawan takdir yang sudah ditetapkan.
Inilah aku, perempuan yang sebentar lagi akan memasuki kepala dua.
Sedikit akan kuceritakan tentang kisahku. Namun ini bukan tentang kisah cinta. melainkan tentang dunia yang sesungguhnya setelah tamat kelas 12. Berikut ceritaku, dan akan kuperkenalkan tentang diriku lebih dahulu.
Dunia kepenulisan serta dunia dibidang fotografi, keduanya sangat kusukai. Bahkan sampai bingung harus fokus kearah yang mana.
Tetapi sebenarnya, hal yang pertama kali yang aku tekuni adalah dunia tulis menulis. Menulis beberapa cerpen sudah mulai aku lakukan sejak duduk SD kelas 6. Itu bermula dari ajakan kakak. Sejak saat itu, menulis menjadi hobiku.
Waktu itu, anak yang baru berumur 12 tahun ini belum mempunyai ponsel seperti teman-temannya yang lain. Hanya bermodalkan buku tulis, pensil, serta penghapus saja untuk menuangkan imajinasi yang ada dalam pikirannya.
Menginjak ke bangku SMP, aku masih gemar menulis. Bedanya, aku sudah mempunyai ponsel pintar. Teman-temanku yang mengetahui tentang hobiku, mulai memberikan saran untuk mempublikasikan cerita yang kubuat ke sebuah aplikasi menulis cerita.
Dari situ, aku mempunyai keinginan untuk menerbitkan sebuah buku.
Singkatnya, ada masa jenuh yang aku alami. Aku mulai mencoba hal baru. Dengan mengandalkan HP Android, aku memotret hal-hal yang menurutku terlihat menarik. Lalu mulai belajar dunia fotografi.
Ilustrasi: curahan hati tentang rencana dalam catatan dan kenyataan. |
Akan tetapi, menulis tetap menjadi pilihanku pada waktu itu.
Menginjak ke bangku SMK, dua bidang tersebut masih kusukai. Menulis tetap kulakukan. Bahkan sering ikut event lomba cerpen, dari yang gratis sampai berbayar. Tentu saja dengan tidak meninggalkan dunia fotografi.
Semakin hari, aku merasa tak ada kemajuan dalam dunia kepenulisan ini.
Hingga suatu hari, aku menemukan sebuah konten di media sosial yang di mana, hanya dengan mengirim cerpen kita bisa mendapatkan uang.
Tanpa pikir panjang, anak yang sudah duduk dibangku kelas 12 ini, langsung mengirimkan beberapa cerpennya ke media tersebut. Total uang yang aku dapat dari hasil menulis, mencapai 50 ribu. Untuk anak sekolah, aku sangat bangga.
Bulan April, adalah masa-masa melaksanakan ujian sekolah serta ujian praktek kejuruan untuk menentukan kelulusan. Meski sibuk-sibuknya belajar, aku masih menyempatkan untuk melanjutkan karyaku disebuah platform menulis.
Sebelum melaksanakan ujian, beberapa universitas datang ke sekolah-sekolah, termasuk sekolahku. Mereka melakukan sosialisasi tentang kampus, berharap siswa yang mengikuti sosialisasi tersebut kemudian kuliah di sana.
Lebih dari 10 Universitas sudah datang ke sekolah, namun dari semua itu, tak pernah terlintas dipikiranku untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tak ada minat yang sesuai dengan keinginanku.
Hingga akhirnya, sebuah kampus swasta datang melakukan promosi, rupanya promosi yang mereka lakukan membuatku sangat tertarik. Itu merupakan sebuah kampus desain.
..
Dari situlah minat kuliahku sangat tinggi. Keinginan untuk masuk ke bidang desain dan fotografi semakin kuat. Aku mulai bimbang. Harus melanjutkan kuliah atau langsung bekerja? Hambatan satu-satunya saat itu adalah perekonomian yang tidak memadai.
Setiap ku ceritakan tentang kampus tersebut, Ayah tak pernah merespon, ia langsung diam. Tatapannya terlihat sedang memikirkan banyak hal. Namun, dihari yang berbeda, ayahku mulai merespon. Sebuah kalimat yang diucapkan olehnya, membuatku merasa sedih.
'Maaf, Bapak enggak bisa nyekolahin kamu lagi.'
Memang sangat sakit. Tapi aku mengerti tentang kondisi perekonomian kami. Bisa makan saja kami sudah merasa bersyukur.
Singkatnya, hari kelulusan telah tiba. Semua teman-temanku sudah menentukan pilihan mereka. Disaat itu, aku masih bingung. Keinginanku untuk kuliah sangat tinggi. Tetapi, realita mematahkan semuanya.
Pada akhirnya, aku memilih untuk bekerja. Tentu, aku masih bingung harus menaruh lamaran pekerjaan di mana.
Lalu terbesit dibenakku, untuk ikut event menulis kontrak. Dengan harapan, dari menulis aku bisa mendapatkan penghasilan.
Dua kali percobaan, aku gagal. Percobaan ketiga, mulai mencari platform lain, masih gagal. Hingga percobaan keempat, aku lolos seleksi.
Novelku terikat kontrak disebuah platform kepenulisan. Gajinya tak main-main. Aku sangat tertarik.
Satu bulan, aku habiskan waktuku untuk menulis. Setiap hari, selalu duduk di depan laptop.
Tapi, tak ada kemajuan. Sedangkan, untuk dapat mencairkan uang dari hasil menulis, jumlah pembaca harus mencapai 600 tayangan.
Aku mulai putus asa.
Akhirnya memutuskan untuk mulai mencari lowongan pekerjaan. Salah satu temanku menawarkan aku lowongan pekerjaan. Jaraknya lumayan dekat dari tempat tinggalku. Bahkan tak ada kerja malam.
Tiga hari aku berpikir untuk menaruh lamaran di sana. Sampai akhirnya, diri ini memberanikan untuk datang ke tempat tersebut. Tak disangka, aku langsung diterima untuk bekerja.
Hari pertama, sepulang kerja, aku masih bisa melanjutkan tulisanku. Mau bagaimanapun, novelku sudah terikat kontrak. Sekiranya sudah 1 bulan novel itu terikat kontrak. Alangkah senangnya aku, saat melihat ada dana sebesar 35 dollar masuk ke akun platform menulis berbayar itu.
Senyumku menghilang, saat mengetahui dana tersebut hanya bisa ditarik dengan maksimal saldo 100 dolar. Sedangkan, untuk mencapai 100 dolar, aku harus mengejar target pembaca.
Sangat mustahil bagiku. Dengan keputusan yang sudah bulat, aku berhenti di dunia kepenulisan dan mulai fokus dengan kerjaanku sekarang.
Aku bekerja disebuah perusahaan yang bekerja dengan salah satu supermarket ternama di Indonesia. Di mana perusahaanku termasuk supplier dari supermarket tersebut. Kerjaanku dibagian admin.
Satu bulan bekerja di sana, tak pernah aku merasa nyaman. Hari-hari dipenuhi dengan rasa takut. Tiap hari mendengar bentakan dari atasan. Jadi ini yang namanya keluar dari zona nyaman?
Mentalku saat itu benar-benar terpuruk.
Meski demikian, aku tetap bertahan karena teringat dengan ucapan ayahku.
'Minimal kalau baru kerja, bertahan sampai 3 bulan.'
Kata-kata itu selalu terngiang. Itu yang membuatku bertahan. Tiga bulan berhasil aku lewati. Meski kadang, dengan air mata yang setiap hari keluar.
Tepat di bulan keempat, aku sudah tidak tahan. Bentakan itu masih ku ingat sampai sekarang. Hari, dimarahi habis-habisan. Air mata pada saat itu sudah mengambang di pelupuk mata. Sangat sakit, jika diingat lagi.
Memori tersebut tak pernah hilang dari ingatan ini. Dengan mental yang sudah sangat rapuh, akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri.
Tiga hari setelah kejadian tersebut, aku mengajukan pengunduran diri. Tetapi, atasan menolak surat pengunduran diriku. Disaat itu juga, aku ceritakan semua keluhanku di tempat kerja. Tak terkecuali tentang sikap atasan yang kurang mengenakkan. Aku keluarkan semua keluh kesahku. Tentu, dengan air mata yang mulai keluar—sangat sakit.
Singkatnya, aku masih bertahan karena atasanku menolak surat pengunduran diriku. Gajiku mulai dinaikkan. Sikap atasanku benar-benar berubah. Untuk marah, ia tak melakukan itu lagi.
Semuanya sudah berlalu.
Inilah aku yang sekarang, berhasil bertahan di tempat kerja pertamaku, sampai saat ini. Tiga bulan yang dipenuhi dengan bentakan sudah berlalu. Yang ada sekarang, hanyalah kenyamanan dan atasan yang baik. Andai aku tak mengeluarkan semua keluh kesahku saat itu, mungkin sikap atasanku tak akan berubah.
Meski 2 tahun telah berlalu semenjak hari kelulusan, keinginan untuk kuliah masih tersisa sedikit.
Iya, hanya sedikit.
Selebihnya, ingin fokus dengan kerjaanku sekarang. Jika diingat lagi, andai aku tidak memilih untuk tidak bekerja, mungkin aku tidak bisa membelikan ibuku ponsel diumur 19 tahun. Andai, aku memilih untuk kuliah, mungkin aku tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga ini. Mungkin juga, aku tidak bisa membeli barang-barang yang aku inginkan.
Sejujurnya, sebelum melamar kerja, aku membuat sebuah rencana untuk diriku.
Catatan itu masih ada.
Jika mendapat pekerjaan nanti, uangnya akan ku tabung sedikit demi sedikit dan aku pakai untuk membeli kamera.
Menulis dan fotografi, aku masih menyukai keduanya. Tetapi, realita berkata lain. Aku harus membantu perekonomian keluarga ini.
Aku tak pernah merasa keberatan. Karena ketika aku melihat orang tuaku tersenyum, saat itulah aku tak pernah menyesal untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi.
Kita memang bisa berencana. Tapi, tak bisa melawan takdir Tuhan. Karena aku percaya, takdir Tuhan selalu yang terbaik.
nimyuri
Judul asli: Di Luar Kendali dan Rencana
Editor: Team AndiNafara, editing dilakukan untuk kebutuhan dan kepentingan publikasi, substansi curhat tetap dipertahankan.
Nah itulah tadi curahan hati dari salah saorang pembaca AndiNafara, yang diidentifikasi sebagai nimyuri, terimakasih atas curhatnya.
Kemudian jika kamu ingin curhat juga seperti ini, silahkan langsung masuk ke program kirim curhat dapat cuan.